BANJARMASIN — Dewan Pers Republik Indonesia melalui tim peneliti Provinsi Kalimantan Selatan menggelar Mini Focus Group Discussion (FGD) di Banjarmasin, Kamis (31/10/2025), sebagai bagian dari pelaksanaan Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Tahun 2025.
Kegiatan yang difasilitasi Peneliti Dewan Pers Wilayah Kalsel, Dr. M.S. Shiddiq, ini diikuti enam informan ahli yang mewakili berbagai unsur: pemerintah, aparat keamanan, lembaga penyiaran, organisasi media, pelaku industri pers, dan aktivis perempuan. Mereka antara lain Kombes Pol Adam Erwindi (Kabid Humas Polda Kalsel), Zainal Helmie (Ketua PWI Kalsel), Nanik Hayati (Komisioner KPID Kalsel), Anang Fadhilah (Ketua SMSI Kalsel), Drs. Munawar Khalil (Pemimpin Redaksi pojokindonesia.com), serta Lena Hanifah, SH., LLM., Ph.D (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga Kalsel).
Ketua SMSI Kalsel, Anang Fadhilah, menilai forum ini penting untuk memperkuat kolaborasi antara Dewan Pers dan pemangku kepentingan media di daerah. “Mini FGD ini menjadi wadah bersama untuk menyampaikan dinamika yang dihadapi media lokal, baik dari sisi ekonomi, kebijakan publik, maupun perlindungan jurnalis di lapangan,” ujarnya.
Dua Isu Utama: Gender dan Akses Wartawan
Dalam diskusi, dua isu menonjol menjadi perhatian survei tahun ini, yakni kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan Juwita di Banjarbaru (2024) dan pembatasan akses wartawan pada peluncuran Pilkada 2024 di Hulu Sungai Tengah (HST).
Ketua PWI Kalsel, Zainal Helmie, menegaskan kasus Juwita merupakan isu kekerasan berbasis gender, bukan pelanggaran kemerdekaan pers. “Peristiwa itu tidak terkait langsung dengan kegiatan jurnalistik korban, namun menunjukkan pentingnya perlindungan bagi jurnalis perempuan,” katanya.
Sementara aktivis perempuan Lena Hanifah menilai perlu indikator khusus dalam IKP yang menilai sejauh mana jurnalis perempuan memperoleh perlindungan dan kesempatan setara. “Aspek kesetaraan gender dan keselamatan kerja perempuan perlu diukur agar survei IKP lebih kontekstual terhadap kondisi nyata di daerah,” ujarnya.
Terkait isu di HST, Anang Fadhilah menjelaskan pembatasan dilakukan oleh pihak event organizer (EO), bukan KPU. “Ini bukan intervensi, melainkan kesalahpahaman teknis. Namun tetap penting dicatat sebagai bahan evaluasi dalam indikator politik IKP,” katanya.
Kebebasan Pers dan Ketahanan Media Lokal
Komisioner KPID Kalsel, Nanik Hayati, menyoroti ketergantungan media lokal pada kontrak publikasi pemerintah daerah yang berpotensi memengaruhi independensi redaksi. Ia menilai perlu kolaborasi agar kerja sama publikasi berjalan transparan dan tidak menekan ruang redaksi.
Sementara itu, Kombes Pol Adam Erwindi menegaskan komitmen kepolisian dalam menjaga kebebasan pers. “Polda Kalsel terus membangun komunikasi dengan media dan memastikan aparat memahami batasan dalam kerja jurnalistik,” ujarnya.
Langkah Lanjutan Survei
Menurut Dr. M.S. Shiddiq, hasil FGD akan menjadi dasar wawancara dan pengisian kuesioner oleh informan ahli di Kalsel. “Mini FGD ini langkah awal penting agar survei IKP 2025 menggambarkan realitas kebebasan pers di Banua secara objektif dan berimbang,” ujarnya.
Pelaksanaan survei di Kalimantan Selatan berlangsung sesuai jadwal nasional, 29 Oktober–12 November 2025, di bawah supervisi Dewan Pers Pusat. Hasilnya akan menjadi bagian dari laporan nasional yang ditargetkan rampung pada Desember 2025.
Tentang IKP
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) adalah survei tahunan Dewan Pers yang mengukur tingkat kebebasan pers berdasarkan tiga lingkungan utama:
Hukum dan regulasi, Politik dan kebijakan, dan Ekonomi dan kemandirian media.
Pada survei IKP 2024, Provinsi Kalimantan Selatan mencatat skor tertinggi nasional. Capaian itu kini menjadi tolok ukur untuk mempertahankan kemerdekaan pers di tengah dinamika sosial dan politik yang terus berkembang.
“Prestasi Kalsel sebagai provinsi dengan indeks tertinggi bukan akhir, melainkan tantangan menjaga konsistensi kebebasan pers di tengah perubahan,” pungkas Shiddiq.












